Bansos saat ini sudah menjadi alat politik. Indikasinya pertama, Penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp500 triliun dan terbesar salama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan.
Hal tersebut diutarakan Guru Besar Universitas Paramadina, Didin S Damanhuri saat menghadiri diskusi Universitas Paramadina dan LP3ES.
“Semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar itu pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat, nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda Bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang Pilpres 2024,” ujarnya.
Dia juga menyesalkan pembagian bansos dilakukan Presiden Jokowi sendiri, dan bukannya Menteri Sosial.
“Padahal kuasa pemegang anggaran Menteri Sosial yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit. Bahkan tidak mendampingi Jokowi ketika bansos dibagikan. Itu memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan Pilpres,”ungkapnya.
Sementara dibanyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan Paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 02 menang maka bansos tidak lagi dibagikan.
Follow Berita Mapbussidterbaru di Google News
Ikuti terus berita terhangat dari Mapbussidterbaru.com via WhatsappAnalisa lebih jauh, Dalam tinjauan ekonomi politik pada 5 tahun terakhir ada gejala Indonesia sedang ada dalam fase neo-otoritarianism. Beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat.
“Sejak 2014 Presiden Jokowi tampil dengan program-program nyata dan populis. Tapi masuk periode ke 2 pada 2019, Jokowi masuk pada proses-proses yang disebut Neo Otoritarian. Indikasinya parlemen yang pro kekuasaan semula 65% menjadi 85% pro kekuasaan,”ujarnya.
Setelah itulah terjadi pelumpuhan mekanisme check and balance di parlemen dalam mengontrol proses legislasi dan lainnya, sehingga ada 8 Undang-undang yang konon bukan merupakan kepentingan rakyat banyak seperti UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, UU Kesehatan dan lainnya.
“Jadi, Bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik otoritarian,” pungkasnya.
Pembicara lainnya Elan Satriawan, dari FEB UGM mengatakan, bansos saat ini memang sudah menjadi alat tujuan politik.
Menurutnya, para founding fathers sudah menetapkan bahwa setiap pemerintahan Indonesia punya janji yang harus dipenuhi di antaranya memajukan kesejahteraan umum. Juga untuk memajukan keadilan sosial yang dituangkan pada Pasal 33 dan 34 UUD 45.
“Dari situ kita tahu bahwa implikasi dari janji itu, bahwa bansos dan segala upaya yang kemudian dilakukan oleh pemerintahan setelah reformasi atau orde baru untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bukanlah opsi atau charity, atau kebaikan dari pemerintahan,”ujarnya.
“Tapi itu adalah janji kemerdekaan yang harus dipenuhi. Hal itu adalah hak rakyat yang harus dipenuhi,”pungkasnya.
Di tempat yang sama, Ninasapti Triaswati dari FEB UI, mengatakan, tujuan holistik Bansos memang pencapaian target. Tujuan politiknya pengentasan kemiskinan. Tetapi apakah benar bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah hal lain.
Sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan atau pendidikan, tapi lebih kompre yakni meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan.
“Memang jika difokuskan dengan naiknya dana bansos menjadi Rp 496 triliun dibanding periode lalu (Rp476 T), memang besar. Tapi yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga adalah soal pemerataan antar kelompok pendapatan,” ujarnya.
Dikatakannya, peningkatan drastis bansos terindikasi insidental seperti di masa Covid pada 2020, dan menjadi aneh jika pada 2024 pertumbuhan angka dana bansos sedemikian tinggi.
“Tambahan dananya pun diperoleh dengan memotong anggaran. Di situlah timbul pertanyaan, dan sekaligus muncul potensi korupsi yang demikian besar,” pungkasnya.
Direktur pusat media dan Demokrasi, Wijayanto menambahkan, bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara untuk memenuhi amanah konstitusi. Tak hanya itu, bansos yang diberikan adalah refleksi kegagalan birokrasi negara untuk menjalankan bantuan sosial, sehingga terjadinya kegagalan birokrasi dan administratif didalamnya.
“Yang menjadi permasalahan utamanya, adalah bansos yang nominalnya tidak seberapa diberikan sebagai iming-iming politik transaksional,” ucapnya.
Lebih lanjut dia menambahkan, rezim Presiden Jokowi terjadi selama 4 periode dimana pada 2014-2016 diistilahkan sebagai honeymoon.
“Namun pada 2016-2019 terlihat neo developmentalisme dimana pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan lain sebagainya, pada 2019-2022 terjadi oligarki ugal-ugalan dan pada 2023 hingga saat ini terjadi politik dinasti, politisasi bansos dan pengingkaran konstitusi,”pungkasnya.