“Memang jika difokuskan dengan naiknya dana bansos menjadi Rp 496 triliun dibanding periode lalu (Rp476 T), memang besar. Tapi yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga adalah soal pemerataan antar kelompok pendapatan,” ujarnya.
Dikatakannya, peningkatan drastis bansos terindikasi insidental seperti di masa Covid pada 2020, dan menjadi aneh jika pada 2024 pertumbuhan angka dana bansos sedemikian tinggi.
“Tambahan dananya pun diperoleh dengan memotong anggaran. Di situlah timbul pertanyaan, dan sekaligus muncul potensi korupsi yang demikian besar,” pungkasnya.
Direktur pusat media dan Demokrasi, Wijayanto menambahkan, bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara untuk memenuhi amanah konstitusi. Tak hanya itu, bansos yang diberikan adalah refleksi kegagalan birokrasi negara untuk menjalankan bantuan sosial, sehingga terjadinya kegagalan birokrasi dan administratif didalamnya.